Pertanyaan:
Bismillah, assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh ustadz, bolehkah seorang perempuan menjadi ketua kelas saat kuliah, karena yang saya ketahui perempuan tidak boleh menjadi pemimpin? Jazakallahu khayran.
(Hasriani)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya wal mursalin, Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.
Terdapat hadis yang melarang wanita menjadi pemimpin dalam urusan pemerintahan. Dari sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ أَيَّامَ الجَمَلِ، لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ فَارِسًا مَلَّكُوا ابْنَةَ كِسْرَى قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Sungguh di hari-hari peristiwa Perang Jamal ada satu kalimat (hadis) yang bermanfaat bagiku, yaitu apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sampai di Persia, rakyat Persia menyerahkan kekuasaan pada putri dari Kisra, beliau bersabda: “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (rakyat) mereka pada wanita”.” (HR. al-Bukhari no.4425, no.7099)
Para ulama mengatakan, yang dimaksud hadis ini adalah urusan pemerintahan dan peradilan. Al-Mulla Ali al-Qari rahimahullah menjelaskan: “amrohum di sini maksudnya urusan pemerintahan mereka. Dalam Syarhus Sunnah disebutkan, tidak baik jika wanita menjadi pemimpin dalam pemerintahan ataupun qadhi (hakim). Karena kedua posisi ini membutuhkan seringnya keluar untuk menegakkan urusan-urusan kaum Muslimin. Padahal wanita itu adalah aurat, tidak baik demikian. Dan juga wanita memiliki kekurangan, sedangkan qadhi itu termasuk posisi yang membutuhkan kesempurnaan, tidak bisa melakukannya kecuali lelaki yang sempurna (tidak semua lelaki, pent-).” (Mirqatul Mafatih, 6/2406)
Al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan, “Dalil as-Sunah, maqashid asy-syari’ah, ijma serta realita menunjukkan bahwa wanita tidak boleh memegang kepemimpinan pemerintahan atau kepemimpinan peradilan. Berdasarkan keumuman hadis Abu Bakrah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sampai di Persia, dan rakyat Persia menyerahkan kekuasaan pada putri dari Kisra, beliau bersabda: “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (rakyat) mereka pada wanita”.” (Fatawa al-Lajnah, 17/13).
Sehingga larangan dan ancaman ini tidak berlaku untuk kepemimpinan dalam ruang lingkup yang terbatas seperti menjadi ketua kelas, menjadi kepala sekolah, menjadi kepala rumah sakit, dan semisalnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
فالأصلُ اُشتراكُ المكلَّفين مِن الرِّجَال والنِّساء في الأحكام ؛ إلا ما قام الدَّليلُ عليه ، مثل : الولاية العامة ، كالإمارة ، والقضاء ، وما أشبهه ، فهي خاصَّة بالرِّجال ، لكن قد تتولَّى المرأةُ إمارةً محدودة ، كما لو سافرت مع نساء وصارت أميرتهنَّ في السَّفر ، وكمديرة المدرسة ، وما أشبه ذلك
“Hukum asalnya, aturan syariat berlaku sama antara laki-laki dan wanita, kecuali yang terdapat dalil yang membedakannya. Contohnya dalam masalah kepemimpinan yang bersifat umum seperti di pemerintahan, peradilan, dan semisalnya. Maka ini semua khusus untuk laki-laki. Namun wanita boleh menjadi pemimpin dalam ruang lingkup terbatas. Seperti jika sekelompok wanita sedang safar, kemudian salah satunya menjadi pemimpin safar. Seperti juga kepala sekolah, atau semisalnya.” (Asy-Syarhul Mumthi, 3/218)
Di dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah (7/93-94) disebutkan:
ومن الولايات التي يصح أن تسند إلى الأنثى : الشهادة والوصاية ونظارة الوقف ، قال ابن عابدين : تصلح المرأة ناظرة للوقف ووصية ليتيم وشاهدة
“Di antara kepemimpinan yang dibolehkan bagi wanita adalah dalam bidang persaksian, wasiat, dan pengurusan wakaf. Ibnu Abidin mengatakan: Wanita boleh menjadi pengurus wakaf, pemegang wasiat harta anak yatim, dan menjadi saksi.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
إذا تولت المرأة إدارة مدرسة، أو إدارة مستشفى للنساء خاصة، أو ما أشبه؛ فلا بأس في ذلك
“Jika orang wanita menjadi kepala sekolah, atau kepala rumah sakit khusus wanita, atau semisalnya, ini tidak mengapa.” (Mauqi Ibnu Baz, https://binbaz.org.sa/pearls/531)
Sehingga tidak mengapa seorang wanita menjadi ketua kelas, kepala sekolah, kepala kantor, dan semisalnya yang ruang lingkupnya terbatas. Tentu saja dengan syarat tidak menimbulkan fitnah (godaan) dan kerusakan seperti berduaan dengan lawan jenis, ikhtilath, tabarruj, dan semisalnya. Wallahu a’lam.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/38945-bolehkah-wanita-menjadi-ketua-kelas-atau-kepala-sekolah.html